IHSAN UMPU PESAGI

Padang Dalom

Selasa, 16 Desember 2008

MENYOAL RAPERDA 'KOTA INJIL'

Akhir bulan lalu, kita dikejutkan oleh upaya Pemerintah Kabupaten dan DPRD Manokwari Propinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) menyusun ancangan Peraturan Daerah (Raperda) 'Kota Injil'. Pasalnya disamping berbau Kristen, dalam beberapa pasal, Raperda ini sangat merugikan umat Islam. Contohnya pasal 30, yang mengatur pembangunan rumah ibadah. Kalau disuatu daerah sudah ada gereja maka dilarang mendirikan masjid. Pasal 37 melarang pemakaian simbol agama dalam berpakaian. Artinya, muslimah nanti akan dilarang berjilbab. Sebaliknya, digedung-gedung pemerintahan wajib dipasang salib. Sangat jelas aroma 'Kristenisasi'.


Banyak kalangan menulai upaya itu sebagai mengada-ada. Guru besar FISIP UI, Prof. Eko Prasojo, misalnya, menilai, “Perda sepeti itu berpotensi menciptakan daerah yang tersekat-sekat berdasarkan agama, budaya atau suku”. (Republika, 25/3/2007).


Raperda itu juga mendapat reaksi negatif dari PGI dan KWI, masing-masing sebagai badan pempinan nasional Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Pendeta Weinata Sairin, wakil sekretaris umum PGI, mengatakan, “PGI tetap menolak Perda atau Raperda yang berbasis agama, karena hal itu menimbulkan diskriminasi”.


Sebelumnya, Pastor Antonius Benny Susetyo, sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI, mngungkapkan pendapat serupa. “Pada dasarnya KWI menolak setiap Perda yang berbasis agama, termasuk Raperda Kota Injil di Manokwari,” katanya kepada UCA News. (Mirifica.net, 3/4/2007).


Berbeda dengan itu, Ustad Aliyuddin Abdul Aziz, tokoh Islam dan pengasuh Pondok Pesantren Daruttaqwa Manokwari, menyatakan, “Raperda Kota Injil ini bukan murni dirancang oleh pemerintah daerah, namun merupakan tekanan dari pihak gereja seluruh Papua”.


Saat ditegaskan bahwa PGI dan KWI telah menolak disahkan Raperda itu, Ustad Aliyuddin menampiknya, “Saya khawatir, ini hanya kamuflase (pengaburan). Sebab, saat awal-awal beredarnya Raperda ini, pihak gereja seakan acuh. Malah mereka bilang bahwa Raperda ini dimunculkan pihak ketiga (provokator) untuk mengadu domba kehidupan beragama di Manokwari. Namun, setelah kami desak, akhirnya mereka mengaku bahwa mereka merancang Raperda ini. (Hidayatullah.com, 15/4/2007). Ada kabar, Raperda itu memang hasil simposium tokoh-tokoh gereja pada Februari 2006. Keberadaannya ditutup rapat-rapat kalangan Kristen. Namun, awal Maret lalu ada anak seorang pendeta Kristen yang masuk Islam, yang kemudian membocorkan rancangan tersebut.


Sebelum Raperda ini diusulkan sudah ada surat edaran dari Badan Pekerja Klasis Ransiki Gereja Kristen Injil di Tanah Papua untuk melarang pembangunan masjid baru di Kabupaten Manokwari. Malah sebelum Raperda ini diterapkan pun telah terjadi intimidasi terhadap para pelajar yang memakai busana muslim. Tak aneh jika masyarakat ditingkat bawah resah. Bahkan sudah ada anggapan bahwa Raperda ini secara tidak langsung mengarah pada upaya pengusiran umat Islam dari Manokwari. Benih-benih konflik horizontal telah muncul.


Karena itu, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto mengatakan, “Ini Perda yang harus dikutuk, termasuk oleh para pengusung demokrasi dan HAM.” Menurutnya, Pemerintah harus tegas menolaknya karena raperda itu intoleran, diskriminatif, dan mengganggu keutuhan masyarakat. (Suara Islam online < http://www.suaraislam.com/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=22Itemid=86>, 13/4/2007.


Kekhawatiran Ismail Yusanto tampaknya beralasan, Pasalnya, beberapa waktu lalupun, di Bali, masyarakat adat memaksa warga muslim yang minoritas untuk menikuti tatacara hari besar mereka seperti yang ditunjukkan pada Hari Raya Nyepi bulan lalu. Warga Muslim Gianyar dan Denpasar dilarang menyalakan lampu pada hari itu. Kalau melanggar, rumah mereka dilempari. Siangnya di kota Denpasar, seorang anggota TNI berkabung, keluarganya ada yang meninggal. Berhubung hari itu Hari Raya Nyepi, ia tak dapat memakamkan jenazah keluarganya karena masyarakat tak boleh keluar rumah, termasuk untuk mengubur jenazah. Dengan berat hati iapun menunda pemakaman keluarganya. Padahal syariah Islam menganjurkan untuk mempercepat pemakaman.


Bahkan pernah terjadi ketika Nyepi jatuh pada hari jum'at, umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah Jum'at tidak diperkenankan mengumandangkan adzan. Untuk mencapai masjidpun mereka harus jalan memutar agar tidak melewati pemukiman masyarakat Hindu. Kaum muslim yang dinggal di tengah-tengah kaum Hindu bahkan tidak bisa shalat Jum'at. (Suara Islam Online, 13/4/2007).


Membandingkan Raperda “Kota Injil” dengan Perda-perda 'Syariah'

Sangat mungkin, Raperda itu bernuansa politik, yanni sebagai reaksi dari apa yang disebut sebagai 'Perda-perda Syari'ah'. Jika itu alasan yang dipakai, jelas ada logika yang keliru.


Pertama : Selama ini, yang disebut dengan 'Perda-perda Syari'ah' tidaklah secara tegas menamakan diri sebagai 'Perda Syari'ah'. Beberapa Perda tersebut hanya menyebut diri sebagai Perda Anti Maksiat, seperti di Depok, Prop. Sumbar dan Kab. Padang Pariaman; Perda Anti Pelacuran dan Perda Anti Miras, seperti di tangerang; Raperda Anti Judi, seperti yang sedang dirancang di Bekasi; dll. Karena itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, pernah meminta agar adanya peraturan daerah (Perda) yang mengatur pemberantasan kemaksiatan tidak dipersoalkan. Perda-perda itu, kata Kalla, tidak melanggar Undang-undang maupun hukum di Indonesia. (www.mui.or.id, 17/6/2006).

Lagipula, Perda-perda itu sangat berkaitan dengan kehidupan publik dan kepentingan secara umum.


Kedua : Memang, ada Perda tantang kewajiban mengenakan busana Muslimah, Perda tentang baca tulis al-Qur'an, Perda tantang penambahan pelajaran agama islam di sekolah, dll dibeberapa daerah seperti Sumatera Barat (Kab. Solok, Padang, Pasaman Barat) dan Sulawesi Selatan (Kab. Enrekang, Gowa, Maros, Sinjai, Bulukumba, dan Takalar). (Republika.co.id, 17/6/2006). Namun, semua perda itu khusus ditujukan bagi umat Islam, tidak bagi umat non-Muslim. Artinya, Perda-perda itu tidak terkait dengan kehidupan publik secara umum dan tidak mengganggu kehidupan beragama pemeluk agama non-Muslim.


Sebaliknya, Raperda 'Kota Injil' yang dirancan Pemda Kab dan DPRD Manokwari maupun pelaksanaan 'aturan agama Hindu' di Bali sebagaimana dipaparkan di atas ditujukan bagi seluruh masyarakat, termasuk umat Islam. Akibatnya, umat Islam mengalami diskriminasi serta dilanggar hak dan kebebasannya untuk menjalankan agamanya; seperti dilarang membangun masjid di tengah-tengah komunitas Muslim, Muslimah dilarang berjilbab, dilarang menyhuarakan adzan atau melaksanakan shalat Jum'at, dll.


Demokrasi dan Diskriminasi.

Secara teoritis, demokrasi mengajarkan kebebasan, persamaan dan keadilan. Namun, dalam tataran praktinya demokrasi sering tidak adil, membelenggu dan diskriminatif; khususnya terhadap umat Islam. Saat menjadi mayoritas saja, sebagaimana di negeri ini, umat Islam sering diperlakukan tidak adil. Bukti paling tegas adalah pemberlakuan hukum sekular dinegeri ini yang nyata-nyata mengabaikan fakta bahwa negeri ini mayoritas Muslim. Padahal kalau logika demokrasi dipakai, seharusnya dinegeri ini diterapkan syari'ah Islam, karena mayoritas penduduknya muslim. Apalagi menurut penelitian UIN Syarif Hidayatullah tahun 2003, lebih dari 71% (10% lebih banyak dari tahun sebelumnya) penduduk Indonesia menghendaki syari'ah Islam. Dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV tahun 2005 juga tampak bahwa arus utama dalam kongres tersebut adalah: tuntutan penerapan syari'ah di Indonesia. Namun,begitulah bobroknya demokrasi. Meski suara mayoritas, jika itu bersumber dari kalangan muslim, dianggap mtidak mencerminkan aspirasi demokrasi.


Lalu ketika umat Islam minoritas, kondisinya lebih menyedikan lagi. Berbagai diskriminasi sampai intimidasi dipraktikkan dengan sempurna di berbagai daerah minoritas muslim di tanah air. Di Papua, semua muslim diberi label sebagai pendatang, tak peduli apakah ia suku asli Papua atau bukan. Muslim dianggap bukan orang Papua. Mereka diperlakukan diskriminatif, dalam pelayanan pemerintah maupum pelayanan sosial. Ditubuh pemerintahan posisi-posisi penting dalam pemerintahan, umat islam tak dilibatkan. Perlakuan di depan hukum pun sering tidak berimbang, ketikan terjadi pertikaian antara muslim dan warga asli maka dapat dipastikan yang disalahkan warga muslim.


Perlakuan diskriminasi juga terjadi di Maluku. Ketika terjadi konflik Ambon beberapa waktu lalu, warga muslim terusir, harta bendanya dijarah, kehormatannya dirampas.

Nasib warga muslim di Kalimantan juga tak jauh berbeda. Ketika terjadi konflik di Kalimantan, terjadi pengusiran besar-besaran warga muslim dari suku madura. Harta benda mereka dijarah; sawah dan kebun mereka tak bisa lagi mereka garap.


Nasip serupa terjadi di Poso. Tragedi pembantaian di Pesantren Walisongo Poso menambah catatan hitam, betapa perlakuan terhadap kum muslim sangat diskriminatif. Setelah warga pesantren dibantai, kini saudara-saudara merekapun difitnah sebagai teroris dan dijadikan target operasi Dendus (Datasemen Khusus 88) Kepolisian.


Di liar negeri, di negara-negara yang notabene menerapkan demokrasi, kondisi kaum muslim minoritas juga sama : memprihatinkan. Kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya tak berlaku bagi umat Islam. Di Belanda, Masjid dan rumah kaum muslim dilempari, bahkan ada yang dibakar. Di Perancis pemerintah melarang warga muslim mengedakan jilbab. Di Jerman, Dubes Jerman untuk Sudan dipecat gara-gara masuk Islam. Di Amerika Serikat, masuk Islamnya Walikota Macon, Georgia, Jack Ellis, direaksi secara negatif oleh kalangan media dan kelompok Kristen fundamentalis AS. Di Australia, kaum muslim dimata-matai dan tak jarang dituding sebagai teroris. Maha benar Allah yang berfirman :

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela terhadap kamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti agam mereka” (QS. Al-Baqarah : 2 : 120)


Syari'ah Islam : Rahmat Bagi Semua

Dalam catatan sejarah yang panjang, ketika syari'ah Islam diberlakukan dan sistem Islam diterapkan di muka bumi, semua umat lain diperlakukan dan dilindungi sama seperti kaum muslim. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslim; sama-sama dilindungi dan dijaga oleh pemerintah Khilafah Islam. Gambaran yang tidak akan pernah hilang dari sejarah umat Islam adalah kasus Andalusia di Spanyol. Ketika umat Islam berkuasa di sana, Khilafah membiarkan agama lain hidup. Disana hidup damai tiga agama : Islam, Kristen dan Yahudi.


Kehidupan seperti itu sebetulnya merupakan pemandangan biasa pada masa Nabi saw. Saat di Madinah, Nabi saw. pun biasa bergaul dengan kaum Yahudi, Nasrani dari Najra serta sebagian kaum musyrik dari suku Aus dan Khajraj. Memang, Syari'ah Islam juga diterapkan atas merek. Namun, itu hanya terkait dalam kehidupan publik. Adapun dalam kehidupan pribadi dan menyangkut peribadatan mereka, mereka tidak dipaksa. Mereka boleh ke gereja atau tempat-tempat ibadah lainnya. Mereka boleh makan dan minum sesuai dengan ajaran agama mereka. Mereka juga boleh menerapkan tatacara menikah, warisan, cerai, dan masalah pribadi lainnya. Singkatnya, keadilan dirasakan oleh semua pihak.

Maha benar Allah yang berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِين

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam". (Qs. Al-Anbiya' : 21 : 107. Wallahu a'lam bi ash shawab.


Wallahu a'lam bi ash-shawab.






Sumber :

Buletin Dakwah

AL-ISLAM

Edisi : 351/Tahun IX

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda