IHSAN UMPU PESAGI

Padang Dalom

Rabu, 21 Oktober 2009

Mengapa Ajaran Puasa Ramadhan & Idul Fitri Tidak Mengakar Dalam Diri Kita

Sejenak marilah kita renungkan tentang hasil dari ibadah puasa yang telah kita laksanakan beberapa waktu yang lalu. Hal ini sangat penting karena didasari oleh kenyataan yang terjadi pada lingkungan masyarakat sekitar kita, atau keluarga kita, atau juga mungkin diri kita sendiri.

Baru saja beberapa waktu, kita meninggalkan bulan yang penuh
barokah yakni bulan Ramadhan. Baru dalam hitungan minggu kita selesai di didik dan dilatih baik fisik maupun rohani melalui media puasa; dan kita berkeyakinan serta mengklaim diri sebagai insan yang telah berhasil dalam pelaksanaan pencapaian tujuan ibadah puasa tersebut.

Kita merasa bangga kerena telah berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan melawan hawa nafsu, perang melawan syaitan yang notabenenya adalah perang melawan diri sendiri. Kebanggaan yang secara kwantitas mungkin ‘ya’ tapi secara kwalitas patut untuk dipertanyakan. Kebanggaan secara kwantitas inilah yang telah membuat kita membusungkan dada dengan segala “keakuan kita sebagai manusia yang menyatakan diri telah kembali kepada “fitrah” bak sucinya bayi yang baru terlahir yang terlepas dari segala macam kontaminasi noda dan dosa. Tetapi ke egoan kita ini pulalah yang justru membuat kita terlena dan lupa akan pertahanan diri kita; akibatnya sebentar saja kita sudah terjebak dalam perangkap hawa nafsu yang tanpa kita sadari atau mungkin kita sadari bahwa kita telah mengotori lembaran-lembaran yang putih bersih, kita telah menodai kefitrahan diri kita dengan noda dan dosa.


Jujur atau tidak, sesungguhnya kita sudah perlahan-lahan, sedikit demi sedikit kita telah meninggalkan ajaran-ajaran puasa ramadhan. Kita lihat saja sebagai contoh : Senyum, salam dan tegur sapa sesama saudara yang selama ramadhan dan idul fitri demikian akrabnya, kini berangsur hilang bersama datangnya keangkuhan dan kecuekan. Senandung ayat suci Al-Qur’an sudah menjadi langka atau bahkan mungkin kitab suci al-Qur’an sudah tersimpan radi di dalam lemari..


Masjid-masjid, langgar, mushalla yang selama ramadhan terasa sempit karena ramai dipadati jamaah kini seakan terlalu besar karena kita hanya cukup berbangga dengan kemegahan bangunan masjidnya saja. Padahal Allah SWT menyeru untuk memakmurkan masjid, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat At-Taubah 18 :





“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. At-Taubah : 18).


Tidak saja masjid, langgar dan mushalla yang menjadi lengang, bahkan kedekatan antara pemerintah dan rakyat mulai berjarak, keharmonisan antara pimpinan dan bawahanpun perlahan mulai pudar. Busana-busana muslimah yang indah dipandang mata mulai berganti dengan pakaian U can see yang memelorotkan mata. Dll. dll.


Kondisi antara ramadhan dan idul fitri dengan pasca ramadhan dan idul fitri yang baru berlalu telah berubah drastis 1800. kitapun bertanya-tanya, pertanyaan yang mungkin paling sederhana adalah “Mengapa demikian cepat perubahan itu terjadi?”


Tentu tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu analisa-analisa yang dapat membuat satu kesimpulan sekaligus penyelesaian bagi masalah yang sedang dihadapi. Tetapi untuk sekedar kemungkinan dan permulaan, maka perlulah kita tinjau beberapa sebab dari munculnya pertanyaan di atas.


1. Kekeliruan Dalam Memahami Makna Puasa.

Selama ini kita memahami puasa hanya sebagai suatu ibadah wajib yang bersifat musiman dan temporal. Akibat pemahaman semacam ini, tentu saja tidak akan membawa banyak pengaruh yang berarti bagi peningkatan iman dan taqwa. Maka wajar saja bila selesai musim ramadhan selesai pula kewajiban kita dan kita merasa telah terbebas dari kewajiban yang memberatkan tersebut.


2. Berfikir Bisnis.

Selama ini kita benar-benar berfikir bisnis dengan keuntungan yang berlipat ganda. Shalat sunnat dalam bulan ramadhan pahalanya sama dengan shalat wajib diluar bulan ramadhan. Shadaqah, infaq dan lain sebagainya pahalanya dilipatgandakan menjadi 10x27x100x700x bahkan tak terhitung kelipatannya karena Allah berkata : wa ana ajzi bih (Allah sendiri yang memberi balasannya). Akibat dari berfikir secara bisnis ini, maka kita benar-benar berlomba-lomba untuk beribadah, zakat, infaq, shadaqah dan mengaji dalam bulan ramadhan saja karena pahalanya yang berlipat-lipat ganda. Tetapi manakala ramadhan berlalu selesai pula kita berlomba-lomba dalam kebaikan karena kita berfikir balasannya tidaklah sebesar seperti bulan ramadhan.


Maka tidak heran kalau masjid, langgar dan surau sudah menjadi sepi, infaq shadaqah sudah manjadi jarang, lantunan ayat suci al-Qur’an sudah jarang terdengar dan berganti dengan pita-pita kaset dan lain sebagainya.


3. Salah Dalam Persiapan Diri.

Selama ini kita menganggap bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang penuh dengan tantangan, bulan yang melelahkan; maka tidaklah heran jika jauh sebelum ramadhan tiba, kita benar-benar mempersiapkan diri secara fisik maupun kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan. Sebelas bulan kita mempersiapkan diri untuk menghadapi ramadhan, sehingga boleh jadi selama bulan ramadhan kita benar-benar siap untuk berperang melawa hawa nafsu. Tetapi begitu ramadhan usai kita kembali terjajah oleh hawa nafsu, kita seolah merdeka bak burung yang lepas dari sangkarnya. Padahal pemaknaan ramadhan adalah pendidikan dan latihan (diklat) selama satu bulan untuk menghadapi sebelas bulan diluar bulan ramadhan.


4. Pesta Yang Berlebihan dan Berhura-hura Dalam Menyambut Ramadhan dan Idul Fitri.

Semuanya kita persiapkan mulai dari makananan dan minuman, pakaian dan dandanan, sehingga muncullah kesan bahwa ramadhan dan idul fitri adalah pesta makanan dan minuman, ajang promosi mode pakaian dan kelinci percobaan dalam dandanan bahkan yang amat sangat memprihatinkan, ternyata dalam suasana ramadhan dan idul fitri ada sekelompok orang yang berpesta minuman keras, dalam suasana halal bihalal ada pula yang menyuguhkan minuman yang dilarang oleh agama.


Islam tidaklah membolehkan berlebih-lebihan. Ramadhan dan idul fitri dimaksudkan sebagai ajang diklat rukyah guna peduli terhadap mereka yang butuh bantuan sandang, pangan maupun kebutuhan hajat hidup lainnya. Kepedulian atau jiwa sosial inilah yang seharusnya mampu kita jaga sampai ramadhan yang akan datang.


Inilah mungkin sebagian kecil dari faktor-faktor mengapa ajaran puasa ramadhan tidak mengakar dalam diri kita. Uraian singkat ini diharapkan dapat menjadi renungan kita sekaligus perbaikan yang dimulai dari diri individu setiap kita. Paling kurang kita berusaha untuk menjadi manusia-manusia yang sebagaimana kata imam Ali: Bahwa “Manusia yang beruntung; apabila hari ininya lebih baik dari kemaren dan esoknya akan lebih baik dari hari yang sekarang ini... Amin amin ya rabbal ‘alamin.


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr : 18).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda